26 April 2009

Cerita Usang di Pondok Motor (I)


Pondok Motor adalah Pos pendakian terkahir di Gunung Raung terletak di desa Sumber Wringin, Sukosari Kabupaten Bondowoso. Saat kali pertama tahun 1996 saya bersama tiga orang teman mendaki Gunung Raung tersebut telah menyisakan sedikit cerita di Pondok Motor. Saya coba untuk mengingat kembali perjalanan saya 12 tahun silam yang hampir terlupakan dan menulisnya dalam catatan ini.

Sebagai gambaran umum bahwa Gunung Raung memiliki ketinggian 3.328 mdpl, atau disebut dengan Puncak Sejati, merupakan gunung diujung timur Pulau Jawa. Kawahnya terbesar diantara gunung-gunung di Pulau Jawa dengan diameter hampir 2 km dan kedalaman vertikal 500 m, di mana di tengah kawah menjulang setinggi kurang lebih 100 meter dan selalu mengeluarkan kepulan asap putih berbau belerang.

Pada tahun itu untuk mendaki Gunung Raung hanya dapat melewati Sumber Wringin dengan Pos Terakhir Pondok Motor, namum pada awal tahun 2000an banyak para Pendaki membuat jalur yang tak lazim, diantaranya tahun 2002 Pataga Untag berhasil membuat jalur baru, via Glenmore dan selanjutnya disusul tim Mapala UI juga menyisir gunung ini melewati desa Kalibaru Banyuywangi yang jalurnya sangat berat untuk dapat sampai di Puncak Sejati.

Memang sudah lama tak pernah menyambangi gunung ini, untuk itu saya ingin menulis saja sebagai catatan pribadi. Sebenarnya hanya dua kali saya mendaki Gunung Raung dengan jalur normal yaitu via Sumber Wringin, itupun sudah lama saya lakukan bersama tiga orang teman, kali pertama tahun 1996 dan kedua tahun 1997. semoga catatan ini dapat dirasakan untuk mengenang kembali dan mengingat perjalanan 12 tahun silam, dengan harapan teman-teman yang pernah ikut mendaki bersama-sama yaitu Subi, Doel, Arif , tersenyum jika membaca catatan Cerita Usang di Pondok Motor.

Memang tidak ada persiapan khusus waktu itu, karena hampir tiap bulan kami selalu melakukan kegiatan rutin pendakian hingga dua kali dalam sebulan, hanya seputar informasi yang kami butuhkan yaitu karakteristik gunung tersebut. Informasi kami dapatkan dari teman-teman yang pernah mendaki gunung tersebut dan literatur buku, maklum waktu itu kurang kenal dengan namanya Browsing atau Surfing di Internet..ketinggalan jaman kalee.

Setelah Informasi yang dibutuhkan cukup kamipun berbagi tugas, utamanya perlengkapan kelompok seperti tenda, kompor, tempat air dan lain-lain. Maklum untuk urusan perlengkapan pribadi menjadi urusan masing-masing. Setelah persiapan sudah beres, seperti biasanya janjian ketemu di terminal Bungurasih Surabaya.

Berangkatlah kami berempat naik bus menuju Probolinggo dan oper bus jurusan Bondowoso, dari terminal Bondowoso kami masih harus oper dengan Minibus ke pasar Sukosari dan dari pasar ini dilanjut naik angkudes menuju Sumber Wringin, yang merupakan desa kecil namun cukup ramai penduduknya. Tepat diujung kampung ini terdapat sebuah warung makan kecil, disinilah kami berhenti dan sedikit ngobrol sambil minum kopi dengan beberapa orang yang kebetulan nongkrong di warung tersebut.
Menurut penduduk sekitar kami disarankan membawa Air yang banyak bahkan kalau perlu membawa cadangan minum, karena selepas desa ini tak bakal ditemukan air lagi. Sebelumnya kami sudah mendapat informasi tentang itu, makanya sudah disiapkan masing-masing membawa jurigen isi 5 liter plus 2 botol air kemasan isi 1,5 liter, jika ditotal 4 orang membawa air sebanyak 24 liter. Perjalanan ke gunung inipun kami rencanakan bermalam selama 4 hari di gunung sungguh waktu yang sangat longgar dan santai sehingga dapat menikmati perjalanan.

Setelah mengisi buku tamu dibalai desa waktu itu kami dimintai membayar iuran sukarela, kala itu kami memberikan sebesar Rp. 5.000 untuk 4 orang. Karena sudah sore kami disarankan agar perjalanan sementara sampai di Pondok Motor. Sebenarnya dari Sumber Wringin bisa ditempuh menggunakan Ojek, namun kami memilih untuk berjalan sekitar 7 KM hingga sampai di Pondok Motor.

Pondok Motor merupakan bangunan sederhana berdinding kayu yang sudah lubang-lubang, beratap seng yang disanggah beberapa tiang kayunya yang sudah kusam dan tak terawat, ada 2 kamar yang biasanya digunakan para pendaki untuk bermalam yang cukup untuk 4 orang, namun didepan bangunan terdapat teras dan bisa didirikan tenda. Penunggu Pondok Motor di kenal dengan MBAH SERANI, nama itu sangat melegenda di desa Sumber Wringin bahkan kalangan Pendaki hingga sekarang masih menyebut Pondok Motor identik dengan nama MBAH SERANI.

Ketika kami berempat sampai di Pondok Motor, tempat ini ditunggui dua wanita renta yang mengaku adik dan kerabat dari Mbah Serani. Sungguh luar biasa dua orang wanita renta sekira berumur diatas 70 tahunan ini bertahan hidup di tengah kesunyian dan jauh dari keramaian. dua orang nenek ini tidak bisa berbahasa Indonesia ataupun Jawa, namun dari logatnya ketahuan bahwa nenek-nenek ini menggunakan bahasa Madura.
Sikapnya sangat ramah dan bersabahat sekali dengan para pendaki, saat kami baru sampai dan minta ijin agar diperbolehkan bermalam di Pondok Motor, ternyata dua nenek ini tak lama kemudian sudah menyiapkan hidangan untuk makan malam walaupun berupa mie instan dan nasi putih satu bakul, kami merasa sangat diperlakukan istimewa. Dengan logat Maduranya nenek ini mempersilahkan kami untuk menyantapnya. Saya memang tidak mengerti dengan apa yang dikatakan, untunglah salah satu teman yaitu Subi sangat fasih dengan bahasa Madura sehingga komunikasipun tetap nyambung.

Esok harinya sebelum berangkat mendaki, dengan Subi inilah nenek ini banyak cerita yang saya dan dua teman lainnya tak faham apa yang tengah diperbincangkan. Dari Subi inilah kami baru tahu bahwa Mbah Serani itu sebenarnya sudah meninggal 3 tahun lalu dan gubuk kecil beratap jerami tepat didepan Pondok Motor itu adalah Makam Mbah Serani. Padahal semalam saya tidur persis didepannya, dan sebelum Subi bercerita tentang apa yang diperbincangkan dengan nenek tersebut, saya lebih dahulu cerita kalo semalam bermimpi bahwa saya mengikuti tahlilan di Pondok Motor, saya seperti mengenal satu-persatu orang yang datang ke Pondok Motor. Ternyata Mimpi saya tak jauh dari cerita Subi bahwa besok adalah 1000 hari Mbah Serani. Seandainya saya tahu bahwa didepan itu adalah makam mungkin saya menghindar untuk tidur didepannya.

Ternyata benar mimpi semalam adalah isyarat bahwa ditempat ini akan diadakan tahlillan mengenang seribu hari Mbah Serani. Subi berbisik bahwa nenek ini minta bantuan untuk kegiatan tersebut, kamipun mengumpulkan beberapa lembar uang puluhan ribu, dan diserahkan ke nenek tersebut, "Terima kasih banyak ya nak semoga kalian selamat dalam perjalanan", demikian kata salah satu nenek ini kepada kami dengan bahasa Madura.(bersambung)


Tidak ada komentar: