28 Maret 2008

Kisah Tragis Pendakian Everest



Penulis : Jon Krakauer

Setiap pendaki gunung akan mengimpikan untuk dapat berdiri diantara tiang-tiang langit dunia seperti everest, buku yang dibesut oleh Jon Krakauer ini menggambarkan kisah tragis para pendaki yang mencoba menaklukkan everest. buku yang layak dibaca oleh setiap pendaki atau siapapun yang berjiwa petualang


Sagarmatha atau Dewi langit, itulah julukan orang-orang Sherpa untuk Everest. Para pendaki dan ahli geologi menganggap puncak tertinggi dunia itu tidak indah, terlalu besar, lebar dan kasar. Namun keanggunan arsitektural yang tidak dimiliki Everest diimbangi oleh massanya yang besar dan menakjubkan. Belum lagi kisah-kisah mengguncang tentang berbagai upaya penaklukannya yang memberikan reputasi tersendiri. Ditemukan 1852, Everest baru dapat ditaklukkan 101 tahun kemudian setelah "serangan" yang berganti-ganti dilakukan 15 tim ekspedisi serta hilangnya 24 nyawa, jumlah korban yang terus bertambah seiring sejarah pendakiannya yang berlanjut hingga kini.

Jon Krakauer adalah klien sebuah tim ekspedisi komersial, satu diantara sekitar 16 tim yang mendaki Everest pada 1996. Pada hari pendakian 10 Mei itu, tak seorang pun yang pernah membayangkan bahwa bencana yang menakutkan sedang mengintai, dan kemudian merenggut nyawa delapan rekan mereka. Tidak ada yang menduga, bahwa di penghujung hari, setiap detik akan menjadi sangat berarti.

Krakauer menulis Into Thin Air dengan harapan akan dapat "mengenyahkan Everest dari kehidupanku. "Kesedihan mendalam karena peristiwa tragis di haribaan Dewi Langit itu demikian nyata tercermin dalam kisah mengguncang ini. Bagaimanapun, bahkan setelah usai menulis Into Thin Air, Krakauer harus pasrah mengakui bahwa tragedi Everest itu akan tetap menghantui hidupnya. Tragedi yang bisa pula menghantui Anda, pembaca, setelah menuntaskan halaman terakhirnya.


Tulisan diatas aku ambil dari bagian belakang cover buku Into Thin Air.
Buku ini menceritakan secara detail apa yang terjadi dari awal pendakian hingga terjadinya bencana. Mengupas profil orang-orang yang terlibat langsung dengan kejadian dan juga alasan mereka mendaki Everest, diantaranya karena pekerjaan, mencari ketenaran, mengejar mimpi masa kecil, pembuktian diri dan ambisi. Jon Krakauer merangkai cerita dari yang dia alami sendiri dan dari sudut pandang masing-masing pendaki yang mengalaminya langsung. Dari situ terungkap beberapa fakta mengejutkan, terutama mengenai salah seorang pemandu, Andy Harris.

Into Thin Air banyak dibicarakan di mailist-mailist penggiat alam khususnya pendaki gunung. Sebagian besar mendiskusikan dimana letak kesalahan dan siapa yang paling bersalah dalam bencana ini. Menurutku, tak ada yang pantas dipersalahkan bahkan alam itu sendiri kecuali diri kita sendiri. Karena nyawa adalah hak milik masing-masing individu. Keputusan ada di tangan masing-masing pendaki, karena hanya diri kita sendiri yang tahu kemampuan kita. Dan hanya diri kita sendiri yang bisa mengalahkan ego untuk memaksakan diri mencapai puncak. Terbukti beberapa orang selamat karena mereka mengambil keputusan disaat yang tepat dengan mengalahkan ego untuk tidak melanjutkan pendakian.

Terlepas dari itu semua, banyak hal-hal tentang pendakian gunung, terutama gunung es, khususnya Everest, yang bisa kita ketahui dari buku ini. Kita bisa mengetahui siapa saja pendaki yang berusaha, berhasil maupun tidak berhasil, mencapai puncak Everest. Resiko apa saja yang mungkin terjadi dalam mendaki gunung es. Penyakit-penyakit akibat ketinggian dan udara dingin seperti hipotermia, hipoksia, gigitan salju (dalam keadaan yang sangat parah, bagian tubuh yang terkena harus segera diamputasi), High Altitude Pulmonary Edema (HAPE--Pembengkakan Paru-Paru Akibat Ketinggian) dan High Altitude Celebral Edema (HACE--Pembengkakan Otak Akibat Ketinggian).

"Setiap detik kita berada pada ketinggian ini dan diatasnya," katanya mengingatkan, tubuh dan otak kita akan rusak, sel-sel otak akan mati, darah akan mengental dan menjadi setengah padat, dan itu sangat berbahaya. Selain itu, akan terjadi pendarahan spontan pada pembuluh rambut seputar retina. Bahkan saat kita beristirahat, jantung kita akan berdetak lebih kencang.(hal.326)

Mendaki Everest tidak hanya berkorban materi dan merasakan penderitaan, rasa sakit, ketakutan, kecemasan, tapi juga harus siap pada kemungkinan mengorbankan sebagian anggota tubuh bahkan nyawa.

Pertemuanku dengan mayat pertama membuat tubuhku gemetar selama beberapa jam; tetapi, guncangan akibat pertemuan dengan mayat kedua ternyata lebih cepat sirna. Beberapa pendaki yang melewatiku hanya menatap sekilas pada mayat tersebut. Sepertinya, di atas gunung ini sudah ada semacam kesepakatan tidak tertulis untuk berpura-pura mengabaikan mayat yang mulai rusak itu dan menganggapnya sesuatu yang tidak nyata--tidak ada satu pendaki pun yang mau mengakui, apa yang dipertaruhkan di tempat ini.(hal. 228)

Everest bak kuburan raksasa yang siap memerangkap mangsanya kapan saja, tak terduga dan TRAGIS!!

1 komentar:

Wahyu El Madrid mengatakan...

buat orang awam (yang tidak berjiwa petualang) mungkin mendaki gunung itu hal yg sia2, buang2 waktu..tapi buat yg pecinta petualangan pendakian gunung, makin tinggi rasa kepuasan ini makin besar,,terlebih bila bisa menaklukan puncak tertinggi di dunia..mantaps..kapan ya bisa ikut??