Mbah Serani tinggal sebuah nama yang cukup dikenal para pendaki saja, beliau adalah dikenal sebagai juru kunci Gunung Raung, beda dengan Mbah Maridjan sang juru kunci Gunung Merapi yang sudah terkenal hingga menjadi bintang iklan salah satu minuman berenergi.
Mbah Serani hanya dikenal oleh para pendaki dan masyarakat sekitar, bahkan setelah beliau meninggal dunia, namanya hingga sekarang masih disebut, khususnya para pendaki yang akan melakukan perjalanan melalui jalur Sumber Wringin. Bahkan banyak para pendaki pemula mengira bahwa Mbah Serani itu masih hidup.
Pada tahun 1997 saat kami melakukan pendakian yang sama dengan tahun sebelumnya, saya tak pernah berfikir bahwa kelak perjalanan ini akan menjadi sebuah catatan pribadi saya. Tidak ada data yang pasti menyebutkan siapa sebenarnya Mbah Serani, namun yang jelas Keramahannya sangat terkenal di Sumber Wringin, hampir tak ada orang yang tak mengenalnya di desa ini, bahkan ketika kami sampai di desa ini, seperti biasanya tak melewatkan ke warung pojok desa Sumber Wringin untuk ngopi dan mengisi air sebagai bekal persiapan pendakian.
Beberapa orang yang kebetulan nongkrong di warung menanyai saya, “Mas sudah pernah kesini belum”, saya jawab sudah pak tahun kemarin. Pasti sudah tahu Mbah Serani kan, tambah seorang disebelah saya sambil menyedot dalam-dalam rokok kreteknya. Iya sudah pak, tapi belum pernah tahu orangnya, kataku pura-pura tidak tahu. “Orangnya memang sudah meninggal tapi kalau mau ke Pondok Motor ya bilang aja mau ke Mbah Serani” katanya menyarankan. Iya terima kasih pak, jawabku.
Dari obrolan inilah sedikitnya kami memperoleh gambaran tentang Mbah Serani, tentang perannya sebagai juru kunci Gunung Raung, banyak sudah yang dilakukan Mbah Serani khususnya membantu mencari korban yang hilang atau meninggal di Gunung Raung. Keramahan dan keikhlasan hatinya sebagai juru kunci bahkan tak tergantikan oleh orang lain.
Walaupun saat ini saya tidak pernah lagi kesana selepas 1997, namun saya masih tetap mendengar nama Mbah Serani selalu disebut oleh pendaki yang akan melakukan pendakian di Gunung Raung. Menurut cerita seorang senior saya, bahwa Mbah Serani Selalu terbuka oleh semua pendaki yang akan bermalam di Gubuknya (Pondok Motor), bahkan beliau selalu menyediakan makanan yang ada untuk para tamunya ini, walalupun dia sendiri sangat membutuhkannya. Dari situlah para pendaki selalu membalas budi baiknya, biasanya para pendaki yang sudah turun selalu meninggalkan sisa bekalnya di Pondok Motor. Bekal-bekal yang ditinggalkan itulah yang di olah untuk para tamunya oleh Mbah Serani, siklus seperti itu terus berlangsung hingga Mbah Serani tiada dan dilanjutkan oleh dua nenek renta seperti yang saya ceritakan di catatan ini bagian pertama.
Selepas tahun 1997 saya sudah tidak pernah mendengar lagi cerita dari Pondok Motor, dan saya masih teringat dengan jelas keramahan dua orang nenek yang menggantikan Peran Mbah Serani ketika kali pertama saya bermalam di gubuknya.
Ketulusan dan kerendahan hatinya patut menjadi tauladan bagi kita semua, bahwa berbuat kebaikan suatu saat akan menuai kebaikan pula, jika tidak di dunia pasti akan dibalas di akhirat, mungkin itulah yang tersirat dalam makna perjalanan kami.
Seperti kata pepatah Gajah mati meninggalkan gading, Manusia mati meninggalkan Nama, mungkin karena kebaikannya itulah hingga namanya tetap dikenang oleh banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar