Pada masa akhir pemerintahan kerajaan Majapahit tahun 1400 M, Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya atau (Prabu Brawijaya V) beserta dua istrinya yang terkenal yaitu Dara Petak dan Dara Jingga yang merupakan putri dari daratan Tiongkok dan diberikan keturunan Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, sedangkan dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.
Raden Fatah setelah dewasa memeluk agama islam berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Seiring dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi sekarang bernama (Demak).
Melihat kondisi yang demikian itu, hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, terus merenung dan pada suatu malam, dia pun memutuskan untuk bermeditasi memohon petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya ia mendapatkan wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.
Ceirta lain menyebutkan bahwa Raden Fatah memaksa Ayahandanya agar memeluk agama islam, disebutkan pula bahwa kerajaan Demak bakal menyerang Majapahit, Sang Prabu yang tidak mau berkonfrontasi dengan Putranya memilih untuk meninggalkan keratonnya secara diam-diam.
Pada suatu malam Sang Prabu dengan hanya disertai asistennya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan sampailah ke Puncak Lawu. Sebelumnya Sang Prabu bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya naik gunung lawuberduaan, merekapun memutuskan untuk menemani pergi bersama ke puncak Hargo Dalem.(sebuah dataran sebelum ke puncak gunung lawu (Hargo Dumillah).
Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Hargo Dumiling (atau disebut Hargo Dumillah) yang merupakan puncak gunung lawu, dan meninggalkan Sang Prabu di sini.
Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Hargo Dalem, dan Sabdopalon moksa di Hargo Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Gunung Lawu, sejak jaman Prabu Brawijaya V, raja Majapahit pada abad ke 15 hingga kerajaan Mataram II sering mengadakan upacara spiritual yang diselenggarakan di Gunung Lawu. Dari situlah hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan Suro. Saat itu, para kerabat Keraton sering berziarah ke tempat-tempat keramat di puncak Gunung Lawu.
Di sana ada sebuah mata air yang disebut Sendang Drajad, sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 2 meter. Meskipun berada di puncak gunung sumur ini airnya tidak pernah habis atau kering walaupun diambil terus menerus.
Juga ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak, gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam 5 meter. Gua ini dikeramatkan oleh masyarakat dan sering dipakai untuk bertapa.
Pasar Diyeng atau Pasar Setan, berupa prasasti batu yang berblok-blok, pasar ini hanya dapat dilihat secara gaib. Pasar Diyeng akan memberikan berkah bagi para pejiarah yang percaya. Bila berada ditempat ini kemudian secara tiba-tiba kita mendengar suara “mau beli apa dik?” maka segeralah membuang uang terserah dalam jumlah berapapun, lalu petiklah daun atau rumput seolah-olah kita berbelanja. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kita akan memperoleh kembalian uang dalam jumlah yang sangat banyak. Pasar Diyeng/Pasar Setan ini terletak di dekat Hargo Dalem.
Pawom Sewu terletak di dekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan/susunan batu yang menyerupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Parabu Brawijaya V. Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi Majapahit sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan adalah Pangeran Katong. Figur ini dimitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara. (diolah dari berbagai sumber)
Melihat kondisi yang demikian itu, hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, terus merenung dan pada suatu malam, dia pun memutuskan untuk bermeditasi memohon petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya ia mendapatkan wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.
Ceirta lain menyebutkan bahwa Raden Fatah memaksa Ayahandanya agar memeluk agama islam, disebutkan pula bahwa kerajaan Demak bakal menyerang Majapahit, Sang Prabu yang tidak mau berkonfrontasi dengan Putranya memilih untuk meninggalkan keratonnya secara diam-diam.
Pada suatu malam Sang Prabu dengan hanya disertai asistennya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan sampailah ke Puncak Lawu. Sebelumnya Sang Prabu bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya naik gunung lawuberduaan, merekapun memutuskan untuk menemani pergi bersama ke puncak Hargo Dalem.(sebuah dataran sebelum ke puncak gunung lawu (Hargo Dumillah).
Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Hargo Dumiling (atau disebut Hargo Dumillah) yang merupakan puncak gunung lawu, dan meninggalkan Sang Prabu di sini.
Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Hargo Dalem, dan Sabdopalon moksa di Hargo Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Gunung Lawu, sejak jaman Prabu Brawijaya V, raja Majapahit pada abad ke 15 hingga kerajaan Mataram II sering mengadakan upacara spiritual yang diselenggarakan di Gunung Lawu. Dari situlah hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan Suro. Saat itu, para kerabat Keraton sering berziarah ke tempat-tempat keramat di puncak Gunung Lawu.
Di sana ada sebuah mata air yang disebut Sendang Drajad, sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 2 meter. Meskipun berada di puncak gunung sumur ini airnya tidak pernah habis atau kering walaupun diambil terus menerus.
Juga ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak, gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam 5 meter. Gua ini dikeramatkan oleh masyarakat dan sering dipakai untuk bertapa.
Pasar Diyeng atau Pasar Setan, berupa prasasti batu yang berblok-blok, pasar ini hanya dapat dilihat secara gaib. Pasar Diyeng akan memberikan berkah bagi para pejiarah yang percaya. Bila berada ditempat ini kemudian secara tiba-tiba kita mendengar suara “mau beli apa dik?” maka segeralah membuang uang terserah dalam jumlah berapapun, lalu petiklah daun atau rumput seolah-olah kita berbelanja. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kita akan memperoleh kembalian uang dalam jumlah yang sangat banyak. Pasar Diyeng/Pasar Setan ini terletak di dekat Hargo Dalem.
Pawom Sewu terletak di dekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan/susunan batu yang menyerupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Parabu Brawijaya V. Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi Majapahit sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan adalah Pangeran Katong. Figur ini dimitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara. (diolah dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar