29 Mei 2009

Ratusan Candi Tersebar di Lereng Gunung Penanggungan

Secara administrasi Pegunungan Penanggungan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Mojokerto. Pegunungan tersebut meliputi Gunung Penanggungan (tinggi 1659 m) dan bukit bukit-bukit sekitarnya yaitu, Bukit Bekel (1238 m), Gajah Mungkur (1084 m), Sarah Klopo (1235 m), dan Kemuncup (1238 m).



Tinggalan purbakala yang terdapat di gunung penanggungan sangatlah banyak. Menurut van Romondt yang pernah melakukan penelitian pada tahun 1951 tinggalan purbakala yang terdapat di gunung Penanggungan sekitar 81 buah yang tersebar di lereng gunung penanggungan. Tinggalan purbakala yang ada di gunung penanggungan secara umum berbentuk punden berundak dengan altar pemujaan di bagian paling belakang, selain itu terdapat juga beberapa gua atau ceruk yang digunakan sebagai pertapaan dan artefak-artefak lain yang berkaitan dengan bangunan suci tersebut. Inventarisasi lebih lanjut dilakukan oleh DITLINBINJARAH pada tahun 1990/1991 yang berhasil mencatat sebanyak 51 buah.


Gunung penanggungan merupakan salah satu gunung suci, dalam kitab negarakertagama disebut dengan pawitra. Bentuk peninggalan yang berupa struktur bangunan bertingkat yang banyak dijumpai di wilayah gunung penanggungan adalah punden berundak. Punden-punden tersebut dibangun tersebar di lereng barat puncak Penanggungan, di lembah antara puncak Penanggungan dan bukit Bekel, di bukit Bekel dan bukit Gajah Mungkur. Punden berundak tersebut umumnya berorientasi kearah puncak Penanggungan atau puncak bukit lainnya. Hal ini membuktikan bahwa anggapan tentang daerah suci tidaklah terpusat pada puncak penanggungan saja, tetapi seluruh gunung itu dan lingkungannya pun dianggap suci hingga punden-punden berundak sembarang didirikan di berbagai tempat dan selalu berada dilereng atau tempat-tempat yang mendekati puncak Penanggungan atau puncak-puncak bukit lainnya (Agus Aris, 1990 : 75).

Ditinjau dari bentuknya, bangunan berteras di situs gunung Penanggungan tampak memiliki unsur-unsur bangunan prasejarah dari tradisi megalitikum yang melatar belakangi pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Jika ditinjau dari pahatan candrasengkala atau angka tahun dalam tarikh saka pada beberapa bangunan dan juga ditinjau dari ragam hias dan relief cerita yang terdapat pada sebagaian besar bangunan dapat dipastikan bahwa peninggalan purbakala di situs tersebut berasal dari masa akhir kerajaan majapahit (sekitar abad 15 M).

Beberapa sarjana pernah mengadakan penelitian secara langsung atau tidak langsung terhadap kepurbakalaan di gunung Penanggungan, khususnya kepurbakalaan yang berbentuk punden berundak dengan 3 altar (1 altar besar dan 2 altar apit kecil di kanan-kirinya) yang didirikan di bagian puncak punden berundak (teras teratas). W.F Sutterheim adalah sarjana pertama yang mengadakan penelitian langsung di situs Penanggungan dan dia mnyimpulkan bahwa bangunan punden berundak di gunung penanggungan dihubungkan dengan tradisi pemujaan nenek moyang, karena gunung dalam konsepsi religi Indoneisa asli dianggap sebagai tempat tingggal para leluhur yang sudah meninggal. Kemudian Stutterheim juga menyatakan bahwa mungkin bangunan punden berundak di gunung Penanggungan ada hubungannya dengan pura di Bali, karena bentuk altar yang terdapat diatas punden berundak dianggap sama dengan altar yang terdapat diatas punden berundak dianggap sama dengan altar atau singgasana surya dalam suatu pura di Bali yang umumnya dighadapkan ke arah puncak gunung (Stuttterheim, 1936 : 199—200, 1938 : 25—30 dalam Agus Aris, 1990 : 4).

Berbeda pula dengan V.R. van Romondt yang menyimpulkan bahwa gunung Penanggungan dianggap suci karena Penanggungan dikelilingi oleh 4 puncak bukit lainnya, hal ini sama dengan keadaan puncak Mahameru. Pembangunan punden berundak dan berbagai kepurbakalaan lainnya terjadi menjelang akhir jaman hindu, sebagai tempat pemujaan nenek moyang yang telah moksa. Dalam hal ini telah terjadi syncritisme antara pemujaan nenek moyang sebagai unsur keagamaan asli dengan pemujaan dewa-dewa kosmis sebagai bentuk keagamaan asing (Van Romondt 1951 : 8)
Agus aris munandar menyimpulkan bahwa gunung Penanggungan merupakan salah satu karsyan yang dalam kitab negarakertagama disebut pawitra dimana gunung penanggungan dipercaya sebagai puncak mahameru yang yang telah dipindahkan oleh para dewa ke pulau jawa. Bangunan punden berundak yang terdapat di gunung penanggungan berpangkal pada konsep pemujaan leluhur yang telah diperdewa. Para leluhur tersebut pada masa hidupnya sangat mungkin memilih siwa sebagai dewata pujaan pribadinya (istadewata), kemudian parwati sakti siwa bagi mereka yang wanita, setelah itu terdapat juga pemujaan terhadap bima, tokoh panji atau tokoh maharsi tertentu yang dianggap telah tinggi ilmunya. Setelah meninggal para leluhur tersebut dianggap bersemayam dengan dewata pujaannya di puncak-puncak gunung, terutama di Gunung Penanggungan. Yang berperan dalam upacara pemujaan adalah para rsi yang memang tinggal jauh dari keramaian, di hutan atau lereng-lereng gunung. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut sambil mendalami pengetahuan keagamaan, bertapa di gua-gua dan makan sekedarnya untuk mencpai kehidupan yang tertinggi adalah bersatu dengan bhatara (siwa) yang bersemayam di puncak gunung (1990 : 332—340).

Bangunan punden berundak ditilik dari segi arsitekturnya sebenarnya dapatdigolongkan ke dalam perkembangan lebih lanjut dari bangunan suci Jawa Timur yang bergaya Candi Jago. Pada bangunan candi jago masih terlihat jelas adanya pembagian kaki, tubuh bangunan dan atapnya yang mungkin terbuat dari bahan yang mudah rusaksehingga tidak tersisa lagi. Kaki Candi Jago yang bertingkat tiga kemudian dikembangkan menjadi teras-teras pada punden berundak, dan jika pada Candi Jago tingkat-tingkat pada kakinya mempunyai empat sisi, pada punden berundak hanya mempunya satu sisi depan yang dilengkapi dengan deretan tangga menuju puncak punden.

Tinggalan arkeologi yang terdapat di gunung penanggungan berupa candi-candi yang berada di lereng gunung merupakan warisan hasil karya leluhur yang sudah seharusnya perlu dilestarikan dan dijaga keberadaannya untuk kepentingan Bangsa dan Negara.

Sumber : http://arkeologi.web.id/directory.php?id=200707301048


Tidak ada komentar: