Bencana alam adalah keniscayaan, terlepas dari apa pun penyebabnya. Tak jarang, sekeras apa pun usaha kita untuk menghindarinya, ia tetap saja datang menerjang. Tak peduli kita tengah gencar menghujat perilaku manusia perusak alam atau bahkan ketika khusyuk berdoa. Maka, di samping berbagai usaha pencegahan terjadinya bencana alam, kita semestinya memiliki kesadaran tentang keniscayaan bencana alam. Berbagai usaha pencegahan atas terjadinya maupun pencegahan akan akibat bencana alam didasari dengan kesadaran yang demikian.
Pada suatu titik kesadaran, kita akan sampai pada penarikan bencana alam ke dalam ranah tradisi kehidupan atau peradaban kita. Kita menyiapkan, merancang, dan mengeksekusi berbagai agenda sadar bencana alam yang kemudian ditradisikan. Kita mentradisikannya sebagaimana kita membuat atap rumah karena sadar akan keniscayaan turunnya hujan, atau sebagaimana tradisi mandi yang muncul dari kesadaran akan kotoran yang niscaya melekati tubuh kita.
Banjir yang terjadi hampir di sebagian wilayah Indonesia, merendam hampir seluruh Jawa, akhir-akhir ini mestinya bisa disikapi dengan kesadaran yang demikian sejak lama. Apalagi banjir ini telah menjadi agenda tahunan alam di Indonesia. Kota besar seperti JAKARTA pun tak luput dari rendaman banjir. Beberapa daerah menuju bandara dan pemukiman warga menjadi langganan.
Ternyata, tata kota, terutama tata keairan, tidak punya visi dalam mengantisipasi kedatangan bencana alam semacam banjir. Para perancang tidak punya kesadaran akan bencana alam yang sangat mungkin dimasukkan ke dalam tradisi merancang berbagai tata bangunan. Barangkali semuanya dirancang dan dibangun untuk menghadapi situasi normal. Padahal kalau mau berpikir lebih mendalam, banjir pun sebenarnya adalah keadaan normal. Belum ada indikasi sebuah visi pembangunan untuk mengantisipasi kenormalan yang kadang-kadang terjadi, seperti banjir.
Kesadaran memang telah ada tentang kerusakan hutan (yang malah terus dirusak) sehingga memunculkan gerakan penanaman kembali. Namun ini perlu waktu yang lama. Menunggu bibit-bibit yang ditanam sehingga tumbuh menjadi pohon besar itu lebih lama dibandingkan membangun tata beton-beton yang punya visi menanggulangi kedatangan banjir. Dengan kata lain, realisasi pembangunan yang mempunyai kesadaran akan banjir sangat mendesak.
Sepertinya, banyak dari kita yang tidak banyak belajar dari peradaban masa lalu yang kelihatannya remeh. Sering kali peradaban masa lalu hanya dikagumi kemegahannya, keunikannya, kemudian dideskripsikan sedemikian rupa untuk kalangan umum, termasuk kalangan luar negeri, sehingga dapat mendatangkan masukan melalui dunia pariwisata, atau ujung-ujungnya masuk museum dan membeku di sana.
Mentradisikan dan merealisasi ide tentang antisipasi bencana alam pada satu titik akan sampai memberi pemahaman bahwa banjir, misalnya, pada suatu ketika tidak dianggap sebagai bencana. Ia mewujud sebagai sahabat yang mesti disapa dengan tradisi, kebudayaan, peradaban.
Banjir yang terjadi hampir di sebagian wilayah Indonesia, merendam hampir seluruh Jawa, akhir-akhir ini mestinya bisa disikapi dengan kesadaran yang demikian sejak lama. Apalagi banjir ini telah menjadi agenda tahunan alam di Indonesia. Kota besar seperti JAKARTA pun tak luput dari rendaman banjir. Beberapa daerah menuju bandara dan pemukiman warga menjadi langganan.
Ternyata, tata kota, terutama tata keairan, tidak punya visi dalam mengantisipasi kedatangan bencana alam semacam banjir. Para perancang tidak punya kesadaran akan bencana alam yang sangat mungkin dimasukkan ke dalam tradisi merancang berbagai tata bangunan. Barangkali semuanya dirancang dan dibangun untuk menghadapi situasi normal. Padahal kalau mau berpikir lebih mendalam, banjir pun sebenarnya adalah keadaan normal. Belum ada indikasi sebuah visi pembangunan untuk mengantisipasi kenormalan yang kadang-kadang terjadi, seperti banjir.
Kesadaran memang telah ada tentang kerusakan hutan (yang malah terus dirusak) sehingga memunculkan gerakan penanaman kembali. Namun ini perlu waktu yang lama. Menunggu bibit-bibit yang ditanam sehingga tumbuh menjadi pohon besar itu lebih lama dibandingkan membangun tata beton-beton yang punya visi menanggulangi kedatangan banjir. Dengan kata lain, realisasi pembangunan yang mempunyai kesadaran akan banjir sangat mendesak.
Sepertinya, banyak dari kita yang tidak banyak belajar dari peradaban masa lalu yang kelihatannya remeh. Sering kali peradaban masa lalu hanya dikagumi kemegahannya, keunikannya, kemudian dideskripsikan sedemikian rupa untuk kalangan umum, termasuk kalangan luar negeri, sehingga dapat mendatangkan masukan melalui dunia pariwisata, atau ujung-ujungnya masuk museum dan membeku di sana.
Mentradisikan dan merealisasi ide tentang antisipasi bencana alam pada satu titik akan sampai memberi pemahaman bahwa banjir, misalnya, pada suatu ketika tidak dianggap sebagai bencana. Ia mewujud sebagai sahabat yang mesti disapa dengan tradisi, kebudayaan, peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar